Real Estate Indonesia (REI) mengakui bahwa saat ini kinerja sektor properti sedang mengalami perlambatan, namun kondisi tersebut bukanlah fenomena yang terjadi secara sektoral. Menurut Wakil Ketua Umum DPP REI, Bambang Ekajaya, penurunan aktivitas ini juga melanda hampir seluruh lini industri di tengah tekanan ekonomi global yang belum mereda.
“Ya memang saat ini penjualan properti relatif melambat. Tapi bukan hanya sektor properti, ini terjadi di semua sektor. Bahkan secara nasional, pertumbuhan ekonomi terlihat menurun dari 8,5% ke sekitar 5%,” ujar Bambang dalam keterangannya, Jumat (11/7).
Bambang menjelaskan bahwa selain perlambatan domestik, kondisi global juga ikut memperburuk situasi. Ia menyebut bahwa hingga saat ini, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terjadi di sejumlah sektor sebagai dampak lanjutan dari tekanan ekonomi dan ketidakpastian global.
“Di dunia juga sedang gonjang-ganjing. Tiga perang belum selesai, sekarang ditambah perang dagang yang dilakukan pemerintahan Trump ke seluruh dunia, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa produk asal Indonesia kini dikenai bea masuk hingga 32%, dan kemungkinan akan bertambah 10% lagi seiring status Indonesia sebagai anggota penuh BRICS. Ini dinilai menambah beban ekonomi dalam negeri, termasuk bagi sektor properti.
Meski menghadapi tekanan berat, REI tetap menyatakan optimisme terhadap prospek jangka menengah hingga panjang sektor properti nasional. Hal ini terutama ditopang oleh masih besarnya backlog perumahan yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 15 juta unit.
“Kami yakin potensi properti tetap besar. Ini mencerminkan potensi pasar yang sangat besar, terutama untuk rumah subsidi yang tetap menjanjikan,” kata Bambang.
Optimisme REI juga diperkuat oleh komitmen pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang mencanangkan pembangunan 3 juta rumah per tahun. Program ini menjadi tulang punggung pertumbuhan sektor perumahan, terutama dalam menjawab kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Sebagai salah satu dari tiga kebutuhan pokok selain pangan dan sandang, papan atau perumahan merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya,” tegas Bambang.
Dukungan lain datang dari fasilitas KPR Subsidi FLPP yang ditargetkan mencapai 420 ribu unit tahun ini, serta kebijakan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor properti non-subsidi.
Di tengah perlambatan ekonomi global dan tekanan sektor riil, industri properti masih memiliki pijakan kuat untuk bangkit, terutama berkat potensi pasar yang besar dan dukungan regulasi pemerintah. Bambang menegaskan bahwa selama kebijakan insentif terus berlanjut, sektor properti akan tetap eksis dan tumbuh, terutama di segmen hunian rakyat.